Pengertian Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian
adalah suatu yang bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat
melihat dengan pancaindra suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat
atau dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan
perkataannya yang berupa janji.
Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.
a. Asas sistem terbukan hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.
b. Asas Konsensualitas
Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
c. Asas Personalitas
Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.
d. Asas Itikad baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
1. Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
2. Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.
e. Asas Pacta Sunt Servada
Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.
f. Asas force majeur
Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.
g. Asas Exeptio non Adiempletie contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.
Syarat Sahnya Perjanjian
a. Syarat Subjektif
- Keadaan kesepakatan para pihak
- Adanya kecakapan bagi para pihak
b. Syarat Objektif
- Adanya objek yang jelas
- Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum
Saat Lahirnya Perjanjian
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat
sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah
barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat
kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak
sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan
suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat
subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan
unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan
apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat
(suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang
dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut
sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran
(offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun
kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi
tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah
lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak
lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam
pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual
beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah
pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak.
Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan
adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat,
maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik
autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi
pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya
perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam
praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur.
Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau
menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau
menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu
dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian
saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi
termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan
tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari
causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan
sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa
dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya
kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan
itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus
halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut
haruslah halal.
Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai
kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang
atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang
merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut
sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat
antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang
yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga
penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Itikad baik
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik
ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang
telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh
diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar